"Our happiness is greatest when we contribute most to the happiness of others.”- Harriet Shepard

Kamis, 28 Juli 2011

Menjadikanku Indah Pada Waktunya

Pada suatu hari, ada seorang kakek dan nenek yang sedang berjalan-jalan di sepanjang pertokoan. Saat melewati toko keramik, nenek berkata pada kakek sambil menunjuk pada sebuah cangkir, “Kek, cangkir yang di situ adalah cangkir yang paling indah yang pernah kulihat.” “Kakek juga, Nek”, jawab kakek setuju. Saat sudah memegang cangkir tersebut, nenek sangat terkejut karena cangkir tersebut dapat berbicara padanya.

Mulailah si cangkir bercerita, “Dulu aku hanyalah tanah liat yang tidak bisa apa-apa. Lalu aku dibawa ke tempat pembuatan keramik. Di sana aku dimasukkan ke tempat penggilingan tanah liat, aku berteriak pada sang tukang, Sakit !!! Sakit !!! Hentikan, keluarkan aku ! Tapi, kau tahu sang tukang berkata apa? Ia berkata, “Belum saatnya.” Setelah itu aku dipukul-pukul dengan palu, semakin lama semakin keras. Aku berteriak lagi, Sakit !!! Sakit Sekali !!! Tolong aku ! Tapi sang tukang juga masih mengatakan bahwa belum saatnya aku keluar. Kemudian aku dipanaskan di perapian. Sungguh amat luar biasa rasa sakitnya, seperti di api neraka. Sakit !!! Panas !!! Bebaskan aku! Aku tak tahan dengan semua ini!! Tapi mengapa sang tukang selalu berkata, “Belum saatnya ?" Lalu aku diwarnai, bau catnya sungguh menyiksa, baunya tak tertahankan. Dan sampai pada akhirnya sekarang ini aku dipajang di etalase dan seorang nenek berkata bahwa aku adalah cangkir terindah yang pernah dilihatnya.” Cangkir itu lalu melihat bayangan dirinya di kaca. Ia melihat betapa indahnya dirinya setelah melalui berbagai proses yang menyakitkan.

Renungan:
Rasa sakit itu merupakan bagian dari proses untuk membentuk pribadi yang utuh. Seperti cangkir itu, tadinya dia kesakitan karena semua proses tersebut tapi pada akhirnya dia menjadi cangkir yang sangat indah. Anggaplah Tuhan sebagai tukang keramiknya. Dia sedang membentuk kita untuk menjadi pribadi yang kuat, yang tahan banting terhadap segala cobaan hidup yang menyakitkan. Tuhan yang membentuk hidup kita. Hal ini perlu diyakini, jangan hanya dianggap saja. Yang perlu diingat bahwa keramik itu mudah pecah, jika kita tidak berhati-hati dan keramik jatuh juga bisa menjadi pecah dan remuk. Seindah apapun keramik itu kalau sudah pecah ya tidak menjadi indah dan cantik lagi. Percayalah Tuhan menjadikan kita manusia yang indah bagi banyak orang

Aku Menciptakan Engkau

Pada suatu hari, seperti yang sering kita lihat, seorang gadis kecil yang telantar, berdiri di persimpangan jalan meminta-minta makanan, uang atau apa saja yang dapat diperolehnya dari orang yang lewat. Gadis kecil itu mengenakan pakaian yang sangat compang camping, kotor dan kusut.

Ketika itu, seorang pemuda yang kaya raya melintasi persimpangan itu tanpa mempedulikan sama sekali gadis kecil itu. Namun ketika pemuda itu tiba dirumahnya yang mewah, ditengah keluarganya yang bahagia dan berkecukupan, duduk dimeja makan yang penuh dengan hidangan malam yang lezat, ia teringat akan gadis kecil yang terlantar itu. Ia menjadi sangat marah kepada Tuhan karena telah membiarkan keadaan seperti itu terjadi.


Ia mencela Tuhan dengan berkata ,” Bagaimana Engkau bisa membiarkan ini terjadi ? Mengapa Engkau tidak melakukan sesuatu untuk menolong gadis itu ?”.


Kemudian jauh dilubuk sanubarinya ia mendengar suara Tuhan menjawab,”Sudah Kulakukan. Aku menciptakan engkau.”


Raja Tanpa Mahkota

Pada satu malam Oktober di tahun 1968, sekelompok penonton setia berdiam di tempat duduk mereka di stadion Olimpik Mexico City untuk menyaksikan pelari terakhir di marathon Olimpic. Lebih dari satu jam sebelumnya, Mamo Wolde dari Ethiopia telah memenangkan pertandingan di bawah teriakan meriah para penonton. Namun, saat penonton menyaksikan dan menunggu pelari terakhir, hari mulai gelap dan dingin.

Kelihatannya, pelari terakhir akan segera selesai, jadi beberapa penonton mulai berpencar dan meninggalkan stadium ketika mereka mendengar suara sirene dan sempritan polisi datang dari pintu gerbang marathon ke dalam stadium. Di bawah tontonan penonton, satu pelari terakhir lari ke trek untuk menyelesaikan putaran terakhir dari dua puluh enam mil pertandingan. Ia adalah John Stephen Akhwari dari Tanzania. Saat ia lari di sirkuit 400 meter itu, orang-orang bisa melihat bahwa kakinya dibalut dan berdarah. Ia telah jatuh dan terluka pada waktu pertandingan, tetapi ia tidak membiarkannya menghentikannya. Dilutut kanannya terdapat luka menganga dan persendian bahunya bergeser. Cedera ini ia dapatkan akibat terjatuh karena bertubrukan. Orang-orang di stadium bangkit dan bertepuk tangan sampai mencapai garis akhir. Ia masuk finish sebagai pelari terakhir, 1,5 jam setelah Wolde.
Kepada Bud Greenspan, seorang sutradara film yang mewawancarainya, Akhwari berkata, "Saya dikirim ke sini bukan hanya untuk memulai perlombaan, tetapi juga untuk menyelesaikannya." Akhwari memang pelari terakhir di lomba tersebut. Namun, ia dicatat sebagai pelari yang menyelesaikan pertandingan hingga akhir, tidak undur atau menyerah kalah di tengah jalan.

Moral dari kisah ini yang patut kita renungkan . . . DEDIKASI . . . Akhwari sadar betul negaranya yang miskin, tidak mengirimkannya untuk sekedar mengikuti lomba, ribuan dollar uang rakyat harus disisihkan, perlu usaha yang lebih bagi negara miskin, agar seorang atlet dapat berangkat mengikuti olimpiade. Akhwari tidak ingin membuat negara dan rakyatnya kecewa.


----Dari Berbagai sumber