"Our happiness is greatest when we contribute most to the happiness of others.”- Harriet Shepard
Tampilkan postingan dengan label Dedikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dedikasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Maret 2013

Setiap Langkah adalah Anugerah


Seorang profesor di undang untuk berbicara di sebuah basis militer. Di sana ia bertemu seorang prajurit yang tak akan pernah di lupakannya, bernama Harry.
Harry yang di kirim untuk menjemput professor di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju ke tempat pengambilan kopor. Ketika berjalan keluar, Harry sering menghilang. Banyak hal yang di lakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh. Kemudian mengangkat anak kecil agar dapat melihat pemandangan. Ia juga menolong orang yang tersesat dan menunjukan arah jalan yang benar. Setiap kali, ia kembali ke sisi profesor dengan senyumnya menghiasi wajahnya.
“Darimana anda belajar hal-hal seperti itu?”, tanya sang professor. “Oh”, kata Harry. “Selama perang, saya kira”. Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga saat tugasnya membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana dia harus menyaksikan satu persatu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.
“Saya belajar untuk hidup diantara pijakan setiap langkah”, katanya. “Saya tak pernah tahu apakah langkah selanjutnya merupakan pijakan terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki. Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini”.
Kelimpahan hidup tidak dapat ditentukan dengan berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.

www.iphincow.wordpress.com

Senin, 21 Januari 2013

Jangan Menilai Seseorang Dari Bajunya


Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.

Mereka meminta janji. Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

“Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard”, kata sang pria lembut. “Beliau hari ini sibuk,” sahut sang Sekretaris cepat. “Kami akan menunggu,” jawab sang wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

“Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” katanya pada sang Pimpinan Harvard. Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.

Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, “Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini, bolehkan?” tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. “Nyonya,” katanya dengan kasar, “Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.”

“Oh, bukan,” Sang wanita menjelaskan dengan cepat, “Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, “Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, “Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?” Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

Stanford secara konsisten berada dalam jajaran universitas terbaik di dunia, baik dalam hal pengajaran sekaligus penelitian. Majalah U.S. News and World Report  menempatkan Stanford pada peringkat 5 dunia untuk program sarjananya tahun 2009. Stanford juga ditempatkan pada peringkat 3 di dunia untuk universitas penelitian terbaik oleh Academic Ranking of World Universities tahun 2010. Pemeringkat lainnya, Times Higher Education World University Rankings, menempatkan Stanford di posisi ke-4 dunia sebagai universitas penelitian terbaik tahun 2010.

Kita, seperti pimpinan Harvard seringkali silau oleh baju. Padahal, baju hanyalah bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju acap menipu.


Kamis, 11 Agustus 2011

Bukan Barang Rongsokan





Konon di Jepang dulu pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya…



Pada suatu hari ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya kehutan, karena si ibu telah lumpuh dan agak pikun. Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Sesampai didalam hutan yang sangat lebar, si anak menurunkan ibu tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap ibunya. Justru si Ibu yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata “Anakku,

Kamis, 28 Juli 2011

Raja Tanpa Mahkota

Pada satu malam Oktober di tahun 1968, sekelompok penonton setia berdiam di tempat duduk mereka di stadion Olimpik Mexico City untuk menyaksikan pelari terakhir di marathon Olimpic. Lebih dari satu jam sebelumnya, Mamo Wolde dari Ethiopia telah memenangkan pertandingan di bawah teriakan meriah para penonton. Namun, saat penonton menyaksikan dan menunggu pelari terakhir, hari mulai gelap dan dingin.

Kelihatannya, pelari terakhir akan segera selesai, jadi beberapa penonton mulai berpencar dan meninggalkan stadium ketika mereka mendengar suara sirene dan sempritan polisi datang dari pintu gerbang marathon ke dalam stadium. Di bawah tontonan penonton, satu pelari terakhir lari ke trek untuk menyelesaikan putaran terakhir dari dua puluh enam mil pertandingan. Ia adalah John Stephen Akhwari dari Tanzania. Saat ia lari di sirkuit 400 meter itu, orang-orang bisa melihat bahwa kakinya dibalut dan berdarah. Ia telah jatuh dan terluka pada waktu pertandingan, tetapi ia tidak membiarkannya menghentikannya. Dilutut kanannya terdapat luka menganga dan persendian bahunya bergeser. Cedera ini ia dapatkan akibat terjatuh karena bertubrukan. Orang-orang di stadium bangkit dan bertepuk tangan sampai mencapai garis akhir. Ia masuk finish sebagai pelari terakhir, 1,5 jam setelah Wolde.
Kepada Bud Greenspan, seorang sutradara film yang mewawancarainya, Akhwari berkata, "Saya dikirim ke sini bukan hanya untuk memulai perlombaan, tetapi juga untuk menyelesaikannya." Akhwari memang pelari terakhir di lomba tersebut. Namun, ia dicatat sebagai pelari yang menyelesaikan pertandingan hingga akhir, tidak undur atau menyerah kalah di tengah jalan.

Moral dari kisah ini yang patut kita renungkan . . . DEDIKASI . . . Akhwari sadar betul negaranya yang miskin, tidak mengirimkannya untuk sekedar mengikuti lomba, ribuan dollar uang rakyat harus disisihkan, perlu usaha yang lebih bagi negara miskin, agar seorang atlet dapat berangkat mengikuti olimpiade. Akhwari tidak ingin membuat negara dan rakyatnya kecewa.


----Dari Berbagai sumber