Mulailah si cangkir bercerita, “Dulu aku hanyalah tanah liat yang tidak bisa apa-apa. Lalu aku dibawa ke tempat pembuatan keramik. Di sana aku dimasukkan ke tempat penggilingan tanah liat, aku berteriak pada sang tukang, Sakit !!! Sakit !!! Hentikan, keluarkan aku ! Tapi, kau tahu sang tukang berkata apa? Ia berkata, “Belum saatnya.” Setelah itu aku dipukul-pukul dengan palu, semakin lama semakin keras. Aku berteriak lagi, Sakit !!! Sakit Sekali !!! Tolong aku ! Tapi sang tukang juga masih mengatakan bahwa belum saatnya aku keluar. Kemudian aku dipanaskan di perapian. Sungguh amat luar biasa rasa sakitnya, seperti di api neraka. Sakit !!! Panas !!! Bebaskan aku! Aku tak tahan dengan semua ini!! Tapi mengapa sang tukang selalu berkata, “Belum saatnya ?" Lalu aku diwarnai, bau catnya sungguh menyiksa, baunya tak tertahankan. Dan sampai pada akhirnya sekarang ini aku dipajang di etalase dan seorang nenek berkata bahwa aku adalah cangkir terindah yang pernah dilihatnya.” Cangkir itu lalu melihat bayangan dirinya di kaca. Ia melihat betapa indahnya dirinya setelah melalui berbagai proses yang menyakitkan.
Renungan:
Rasa sakit itu merupakan bagian dari proses untuk membentuk pribadi yang utuh. Seperti cangkir itu, tadinya dia kesakitan karena semua proses tersebut tapi pada akhirnya dia menjadi cangkir yang sangat indah. Anggaplah Tuhan sebagai tukang keramiknya. Dia sedang membentuk kita untuk menjadi pribadi yang kuat, yang tahan banting terhadap segala cobaan hidup yang menyakitkan. Tuhan yang membentuk hidup kita. Hal ini perlu diyakini, jangan hanya dianggap saja. Yang perlu diingat bahwa keramik itu mudah pecah, jika kita tidak berhati-hati dan keramik jatuh juga bisa menjadi pecah dan remuk. Seindah apapun keramik itu kalau sudah pecah ya tidak menjadi indah dan cantik lagi. Percayalah Tuhan menjadikan kita manusia yang indah bagi banyak orang